Sabtu, 26 Maret 2011

Jumat, 18 Maret 2011

catatan dari pengalaman berada di jepang saat bencana gempa, tsunami, dan krisis nuklir 2011

Ketangguhan Jepang Memukau Dunia

Ketangguhan Jepang menghadapi tekanan tiga bencana besar sekaligus, yakni gempa bumi, tsunami, dan radiasi nuklir, memukau dunia. Reputasi internasional Jepang sebagai negara kuat mendapat pujian luas. Tak adanya penjarahan menguatkan citra ”bangsa beradab”.

Pemerintah Jepang, Selasa (15/3), terus memacu proses evakuasi dan distribusi bantuan ke daerah bencana yang belum terjangkau sebelumnya. Seluruh kekuatan dan sumber dayanya dikerahkan maksimal ke Jepang timur laut, daerah yang terparah dilanda tsunami.

Evakuasi korban tsunami berjalan seiring dengan evakuasi ribuan warga yang terancam terpapar radiasi nuklir di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi, utara Tokyo. Prefektur Fukushima juga termasuk salah satu daerah korban gempa dan tsunami yang terjadi pada Jumat lalu.

Televisi, media cetak, radio, dan situs berita online di seluruh dunia telah merilis bencana itu. Hal yang mengagumkan dunia, seluruh kejadian serta momen dramatis dan mendebarkan direkam televisi Jepang detik demi detik, sejak awal gempa, datangnya tsunami, hingga air bah itu ”diam”.

Jepang lalu mengabarkan drama amuk alam yang menyebabkan lebih dari 10.000 orang tewas dan 10.000 orang hilang itu ke seluruh dunia. Meski sempat panik, Jepang dengan cepat bangkit, mengerahkan seluruh kekuatannya, mulai dari tentara, kapal, hingga pesawat terbang. Jumlah tentara dinaikkan dua kali lipat dari 51.000 personel menjadi 100.000 personel. Sebanyak 145 dari 170 rumah sakit di seluruh daerah bencana beroperasi penuh.

Sekalipun kelaparan dan krisis air bersih mendera jutaan orang di sepanjang ribuan kilometer pantai timur Pulau Honshu dan pulau lain di Jepang, para korban sabar dan tertib menanti distribusi logistik. Hingga hari keempat pascabencana, Selasa, tidak terdengar aksi penjarahan dan tindakan tercela lainnya.

Associated Press melukiskan, warga Jepang tenang menghadapi persoalan yang ditimbulkan bencana. Sisi lain yang diajarkan masyarakat Jepang ialah sikap sabar meski mereka diliputi dukacita akibat kehilangan orang-orang terkasih. Mereka sabar menanti bantuan. Pemerintah bisa lebih tenang untuk fokus pada evakuasi, penyelamatan, dan distribusi logistik.

Bencana terbaru adalah bahaya radiasi nuklir akibat tiga ledakan dan kebakaran pada Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi. Dari enam reaktor nuklir, empat di antaranya telah bermasalah. Jepang belajar dari kasus Chernobyl dan membangun sistem PLTN-nya lebih baik. Pemerintah menjamin tak akan ada insiden Chernobyl di Jepang.

”Perserikatan Bangsa-Bangsa belum mengambil langkah-langkah selama belum ada permintaan. Jepang adalah negara paling siap di dunia (menghadapi bencana),” kata Elisabeth Byrs, juru bicara Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), kepada Reuters.

Byrs melanjutkan, ”Jepang menanggapi tiga darurat sekaligus, yakni gempa, tsunami, dan ancaman nuklir, dan melakukannya dengan sangat baik.”

Para blogger dan pengguna situs jejaring sosial berbahasa Inggris memuji Jepang sebagai bangsa yang tabah (stoic) dan bertanya-tanya tentang kemampuan bangsa lain, terutama di Barat, jika diguncang tiga bencana besar sekaligus. Mereka memuji Jepang adalah sebuah bangsa yang hebat, kuat, dan beretika.

Profesor Harvard University, Joseph Nye, mengatakan, bencana telah melahirkan Jepang sebagai bangsa soft power. Istilah itu diciptakannya untuk melukiskan Jepang mencapai tujuannya dengan tampil lebih menarik bagi bangsa lain.

Saat bencana dan tragedi kemanusiaan mengundang simpati dari dunia Jepang, citra negara yang tertimpa bencana jarang mendapat keuntungan dari bencana tersebut. Pakistan, misalnya, menerima bantuan AS dan negara lain saat dilanda banjir bandang tahun lalu. Namun, bantuan individu sangat sedikit, yang disebabkan citra negeri itu di mata dunia. China dan Haiti juga menghadapi kritik atas penanganan gempa bumi tahun 2008 dan 2009.

Menghadapi kebutuhan akan dana rekonstruksi skala besar, Jepang masih menimbang tawaran internasional. ”Meski dilanda tragedi dahsyat, peristiwa menyedihkan, ada fitur-fitur yang sangat menarik dari Jepang,” kata Nye kepada AFP.

Pascal S Bin Saju (KOMPAS, Rabu, 16 Maret 2011 | 07:39 WIB)

""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""

Semangat Bangkit Orang Jepang Luar Biasa

Seorang pemuda memakai kacamata membagikan ramen, mi rebus, kepada beberapa orang di tempat penampungan korban tsunami. Oleh wartawan TV ditanya dari grup relawan mana. Pemuda itu menjawab, “Bukan. Volunteer. Saya memang penduduk sini dan pekerjaan saya memang menjual ramen. Rumah dan warung saya juga hilang dan tidak ada lagi. Akan tetapi, saya tidak sendirian. Oleh karena itu dalam keadaan sekarang kita bersama-sama melakukan apa yang bisa dilakukan untuk membangun kembali”.

Bukan tangis dan ratapan yang ditunjukan, tetapi semangat untuk bangkit kembali karena menyadari yang mengalami musibah kehilangan rumah dan pekerjaan bukan dia sendiri.

Dua orang bapak berdiri di atas bukit kecil, memandang ke bawah, ke kota kecil yang sekarang sudah tidak ada lagi rumah yang berdiri. Dia menunjukkan lokasi rumahnya dulu. Tampak bahwa tidak hanya rumah yang hilang, tapi juga “kota” atau “kampung” semua hilang ditelan tsunami. Semangat tetap tecermin dalam diri bapak-bapak itu karena mereka merasa tidak sendirian.

Ada teman saya di Kanada bertanya: “Jepang kan negara donor, kenapa kok mengumpulkan dana juga dari masyarakatnya?” Mungkin jawabnya adalah bukan pada jumlah uang yang berhasil dikumpulkan, tetapi lebih pada rasa setia kawan atau rasa kebersamaan sebagai satu negara/bangsa sehingga ingin berbuat sesuatu. Rasa bersama inilah yang ada dalam setiap diri orang jepang. Rasa ini menjadi semangat bagi orang yang ditimpa bencana sehingga bisa bangkit lagi. Ada juga artikel yang dimuat di Kompas.com, mahasiswa atau mahasiswi jepang di Yogya mengumpulkan dana dari orang yang lewat di jalan (dengan pakaian Jepang). Tentu saja gerakan ini kalau dilihat jumlahnya tidak banyak, tapi “arti” dari yang dia lakukan itu cukup besar bagi dia sendiri dan bagi bangsanya. Ada rasa kesatuan sehingga tidak merasa sendirian dalam menghadapi bencana.

Pada hari ke-5 setelah gempa, yaitu tanggal 16 Maret 2011, transportasi utama di Tokyo untuk orang bekerja sudah normal. Ini juga berkat kerja sama antara TEPCO (perusahaan penyedia listrik), perusahaan kereta, dan Kementrian Transportasi. Memang kekurangan pasokan listrik masih ada. Akan tetapi, pengaruh ke kegiatan utama di perkantoran sedapat mungkin di kurangi supaya roda ekonomi tidak terlalu terganggu. Berkat kerja sama tiga instansi ini, di waktu orang berangkat dan pulang kerja, jumlah dan jadwal kereta semua normal. Artinya sama seperti sebelum gempa. Dengan demikian, orang berangkat dan pulang kerja seperti biasa. Jumlah kereta yang dikurangi adalah jam-jam tidak sibuk, yaitu jam 10 pagi sampai jam 6 sore. Suatu langkah penanganan yang juga berlandaskan semangat tidak sendiri, tapi bersama-sama mengatasi masalah.

Semangat bahwa tidak sendiri ini juga tampak jelas ditunjukan oleh pemain sepak bola asal Jepang, Nagatomo, yang bermain untuk klub eropa Inter Milan. Sebelum pertandingan, semua pemain dan penonton berdoa untuk Jepang. Setelah pertandingan, Nagatomo memegang bendera Jepang bertuliskan dalam bahasa Jepang dan juga bahasa Inggris: You will never walk alone. Sementara di layar TV dituliskan dalam bahasa Jepang, Sora ha tsunagatteiru node (kimochi ha ) tsunagaru to omoimasu ( Langit itu bersambungan/tidak terpisah, maka perasaan juga bisa tersambung ).

Ada satu ungkapan yang sudah diajarkan sejak anak TK ,SD, sampai dewasa, yaitu, chikara o awaseru, yang berarti kita bersama-sama menggalang kekuatan. Kalau sendirian tidak akan bisa, tetapi kalau bersama-sama kita susun kekuatan maka kita akan bisa melakukannya.

Pepih Nugraha (KOMPAS Jumat, 18 Maret 2011 | 08:30 WIB)

""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
It s the time to payback to Japan

Saya yakin, mayoritas dari rekan-rekan sedang (pernah) menikmati berbagai fasilitas dari rakyat Jepang dan pemerintahnya.
Dari mahasiswa ingusan hingga bergelar Master atau Doktor, dari pekerja rendahan hingga menjadi pebisnis handal, dari keluguan menjadi keterbukaan.
Proses transformasi yang sedang (telah) terjadi dalam diri kita semua, meski semua diatur Allah, tidak bisa kita lepaskan dari pengaruh Jepang dari segala aspeknya.
Mari kita bantu jepang, hilangkanlah segala gerutu, prasangka atau kekhawatiranTak elok rasanya kita berlari dari teman kita yang sedang membutuhkan
Tentu, sebagai tamu yang terus menerus diberikan hidangan bermutu, dimanjakan oleh berbagai fasilitas, di angkat harkat dan martabatnya, sungguh merupakan suatu dosa besar ketika kita meninggalkan tuan rumah yang tertimpa kesulitan.
Kini, bukan saatnya kita berpikir tentang diri kita pribadi.Ini adalah saatnyaKita Balas Kebaikan Jepang!!!!
Nippon Nippon Gambare!!!!!!
it is not about citizenship
it is beyond racial border
it is a social movement
Across the region
Passing the lines of religion
It is about us as god's creation

Pray for Japan

Fitra Faisal Hastiadi - President, Indonesian Student Association in Japan, 2010-2011

""""""""""""""""""""""""""""""""""""""

Catatan dari saya:

akhirnya, saya memutuskan utk bersikap proporsional dalam menghadapi situasi saat ini.

pada saat gempa masih di kota saya, pada saat peningkatan radiasi sudah terukur di propinsi sebelah propinsi saya, pada saat keluarga di indonesia panik luar biasa karena pemberitaan berlebihan dari media di indonesia, saya bersikap seperti ini:

- percaya pemberitaan dari media jepang dan informasi dari kampus

- paham kekhawatiran keluarga, tapi tetap menjelaskan kondisi sesungguhnya ke di indonesia, untuk menenangkan mereka

- pergi keluar kota menjauh sedikit dari kota saya, demi menenangkan keluarga

- tidak perlu sampai pulang ke indonesia.
mengutip tulisan seorang rekan, "tentu, sebagai tamu yang terus menerus diberikan hidangan bermutu, dimanjakan oleh berbagai fasilitas, di angkat harkat dan martabatnya, sungguh merupakan suatu dosa besar ketika kita meninggalkan tuan rumah yang tertimpa kesulitan"

- tidak menjadikannya situasi ini sebagai alasan untuk meninggalkan pekerjaan.
falsafah-falsafah hidup jepang, 'ganbaru' yg artinya ayo kita berjuang dan jangan menyerah untuk menghadapi segala persoalan dalam hidup dengan, 'mandiri' dengan berusaha menyelesaikan semua masalah dengan usaha sendiri, '
chikara o awaseru' yang artinya you will never walk alone, dan tak lupa 'etika' yang selalu dipegang dalam segala sikap, menjadikan saya berpikir dua kali untuk mengalihkan konsentrasi menulis tesis.

- memutuskan apa pun dari diri sendiri, bukan karena pengaruh teman2 dan kepanikannya

akhirnya, saya kagum dengan jepang, bangsa beradab yang ketangguhannya dan ketabahannya memukau dunia. saya merasa beruntung berada di tempat yang ideal untuk memahami "ganbaru" sebagai way of life, lebih berharga daripada go international dan sejenisnya.

GAMBARU.. Prinsip Hidup orang Jepang

GAMBARU.. Prinsip Hidup orang Jepang

By Rouli Esther Pasaribu

Terus terang aja, satu kata yang bener2 bikin muak jiwa raga setelah tiba di
Jepang dua tahun lalu adalah : GAMBARU alias berjuang mati-matian sampai
titik darah penghabisan. Muak abis, sumpah, karena tiap kali bimbingan sama
prof, kata-kata penutup selalu : motto gambattekudasai (ayo berjuang lebih
lagi), taihen dakedo, isshoni gambarimashoo (saya tau ini sulit, tapi ayo
berjuang bersama-sama), motto motto kenkyuu shitekudasai (ayo bikin
penelitian lebih dan lebih lagi). Sampai gw rasanya pingin ngomong, apa
ngga ada kosa kata lain selain GAMBARU? apaan kek gitu, yang penting bukan
gambaru.

Gambaru itu bukan hanya sekadar berjuang2 cemen gitu2 aja yang kalo males
atau ada banyak rintangan, ya udahlah ya...berhenti aja. Menurut kamus
bahasa jepang sih, gambaru itu artinya : "doko made mo nintai shite doryoku
suru" (bertahan sampai kemana pun juga dan berusaha abis-abisan)

Gambaru itu sendiri, terdiri dari dua karakter yaitu karakter "keras" dan
"mengencangkan". Jadi image yang bisa didapat dari paduan karakter ini
adalah "mau sesusah apapun itu persoalan yang dihadapi, kita mesti keras dan
terus mengencangkan diri sendiri, agar kita bisa menang atas persoalan
itu" (maksudnya jangan manja, tapi anggap semua persoalan itu adalah sebuah
kewajaran dalam hidup, namanya hidup emang pada dasarnya susah, jadi jangan
ngarep gampang, persoalan hidup hanya bisa dihadapi dengan gambaru,
titik.).

Terus terang aja, dua tahun gw di jepang, dua tahun juga gw ngga ngerti,
kenapa orang2 jepang ini menjadikan gambaru sebagai falsafah hidupnya.
Bahkan anak umur 3 tahun kayak Joanna pun udah disuruh gambaru di
sekolahnya, kayak pake baju di musim dingin mesti yang tipis2 biar ngga
manja terhadap cuaca dingin, di dalam sekolah ngga boleh pakai kaos kaki
karena kalo telapak kaki langsung kena lantai itu baik untuk kesehatan,
sakit2 dikit cuma ingus meler2 atau demam 37 derajat mah ngga usah bolos
sekolah, tetap dihimbau masuk dari pagi sampai sore, dengan alasan, anak
akan kuat menghadapi penyakit jika ia melawan penyakitnya itu
sendiri. Akibatnya, kalo naik sepeda di tanjakan sambil bonceng Joanna, dan
gw ngos2an kecapean, otomatis Joanna ngomong : Mama, gambare! mama faitoooo!
(mama ayo berjuang, mama ayo fight!). Pokoknya jangan manja sama masalah
deh, gambaru sampe titik darah penghabisan it's a must!

Gw bener2 baru mulai sedikit mengerti mengapa gambaru ini penting banget
dalam hidup, adalah setelah terjadi tsunami dan gempa bumi dengan kekuatan
9.0 di jepang bagian timur. Gw tau, bencana alam di indonesia seperti
tsunami di aceh, nias dan sekitarnya, gempa bumi di padang, letusan gunung
merapi....juga bukanlah hal yang gampang untuk dihadapi. Tapi, tsunami dan
gempa bumi di jepang kali ini, jauuuuuh lebih parah dari semuanya itu.
Bahkan, ini adalah gempa bumi dan tsunami terparah dan terbesar di
dunia. Wajaaaaaaar banget kalo kemudian pemerintah dan masyarakat jepang
panik kebingungan karena bencana ini. Wajaaaaar banget kalo mereka kemudian
mulai ngerasa galau, nangis2, ga tau mesti ngapain. Bahkan untuk skala
bencana sebesar ini, rasanya bisa "dimaafkan" jika stasiun-stasiun TV
memasang sedikit musik latar ala lagu-lagu ebiet dan membuat video klip
tangisan anak negeri yang berisi wajah-wajah korban bencana yang penuh
kepiluan dan tatapan kosong tak punya harapan. Bagaimana tidak, tsunami dan
gempa bumi ini benar-benar menyapu habis seluruh kehidupan yang mereka
miliki. Sangat wajar jika kemudian mereka tidak punya harapan.

Tapi apa yang terjadi pasca bencana mengerikan ini? Dari hari pertama
bencana, gw nyetel TV dan nungguin lagu-lagu ala ebiet diputar di stasiun
TV. Nyari-nyari juga di mana rekening dompet bencana alam. Video klip
tangisan anak negeri juga gw tunggu2in. Tiga unsur itu (lagu ala ebiet,
rekening dompet bencana, video klip tangisan anak negeri), sama sekali ngga
disiarkan di TV. Jadi yang ada apaan dong? Ini yang gw lihat di stasiun2 TV
:
1. Peringatan pemerintah agar setiap warga tetap waspada
2. Himbauan pemerintah agar seluruh warga jepang bahu membahu menghadapi
bencana (termasuk permintaan untuk menghemat listrik agar warga di wilayah
tokyo dan tohoku ngga lama-lama terkena mati lampu)
3. Permintaan maaf dari pemerintah karena terpaksa harus melakukan pemadaman
listrik terencana
4. Tips-tips menghadapi bencana alam
5. nomor telepon call centre bencana alam yang bisa dihubungi 24 jam
6. Pengiriman tim SAR dari setiap perfektur menuju daerah-daerah yang
terkena bencana
7. Potret warga dan pemerintah yang bahu membahu menyelamatkan warga yang
terkena bencana (sumpah sigap banget, nyawa di jepang benar-benar bernilai
banget harganya)
8. Pengobaran semangat dari pemerintah yang dibawakan dengan gaya tenang dan
tidak emosional : mari berjuang sama-sama menghadapi bencana, mari kita
hadapi (government official pake kata norikoeru, yang kalo diterjemahkan
secara harafiah : menaiki dan melewati) dengan sepenuh hati
9. Potret para warga yang terkena bencana, yang saling menyemangati : *ada
yang nyari istrinya, belum ketemu2, mukanya udah galau banget, tapi tetap
tenang dan ngga emosional, disemangati nenek2 yang ada di tempat pengungsian
: gambatte sagasoo! kitto mitsukaru kara. Akiramenai de (ayo kita berjuang
cari istri kamu. Pasti ketemu. Jangan menyerah)
*Tulisan di twitter : ini gempa terbesar sepanjang sejarah. Karena itu, kita
mesti memberikan usaha dan cinta terbesar untuk dapat melewati bencana ini;
Gelap sekali di Sendai, lalu ada satu titik bintang terlihat terang. Itu
bintang yang sangat indah. Warga Sendai, lihatlah ke atas.

Sebagai orang Indonesia yang tidak pernah melihat cara penanganan bencana
ala gambaru kayak gini, gw bener-bener merasa malu dan di saat yang
bersamaan : kagum dan hormat banget sama warga dan pemerintah Jepang. Ini
negeri yang luar biasa, negeri yang sumber daya alamnya terbatas banget,
negeri yang alamnya keras, tapi bisa maju luar biasa dan punya mental sekuat
baja, karena : falsafah gambaru-nya itu. Bisa dibilang, orang-orang jepang
ini ngga punya apa-apa selain GAMBARU. Dan, gambaru udah lebih dari cukup
untuk menghadapi segala persoalan dalam hidup.

Bener banget, kita mesti berdoa, kita mesti pasrah sama Tuhan. Hanya, mental
yang apa-apa "nyalahin" Tuhan, bilang2 ini semua kehendakNya, Tuhan marah
pada umatNya, Tuhan marah melalui alam maka tanyalah pada rumput yang
bergoyang... ..I guarantee you 100 percent, selama masih mental ini yang
berdiam di dalam diri kita, sampai kiamat sekalipun, gw rasa bangsa kita
ngga akan bisa maju. Kalau ditilik lebih jauh, "menyalahkan" Tuhan atas
semua bencana dan persoalan hidup, sebenarnya adalah kata lain dari ngga
berani bertanggungjawab terhadap hidup yang dianugerahkan Sang Pemilik
Hidup. Jika diperjelas lagi, ngga berani bertanggungjawab itu maksudnya :
lari dari masalah, ngga mau ngadepin masalah, main salah2an, ngga mau
berjuang dan baru ketemu sedikit rintangan aja udah nangis manja.

Kira-kira setahun yang lalu, ada sanak keluarga yang mempertanyakan, untuk
apa gw menuntut ilmu di Jepang. Ngapain ke Jepang, ngga ada gunanya, kalo
mau S2 atau S3 mah, ya di eropa atau amerika sekalian, kalo di Jepang mah
nanggung. Begitulah kata beliau. Sempat terpikir juga akan perkataannya itu,
iya ya, kalo mau go international ya mestinya ke amrik atau eropa sekalian,
bukannya jepang ini. Toh sama-sama asia, negeri kecil pula dan kalo ga bisa
bahasa jepang, ngga akan bisa survive di sini. Sampai sempat nyesal
juga,kenapa gw ngedaleminnya sastra jepang dan bukan sastra inggris atau
sastra barat lainnya. Tapi sekarang, gw bisa bilang dengan yakin sama sanak
keluarga yang menyatakan ngga ada gunanya gw nuntut ilmu di
jepang. Pernyataan beliau adalah salah sepenuhnya. Mental gambaru itu yang
paling megang adalah jepang. Dan menjadikan mental gambaru sebagai way of
life adalah lebih berharga daripada go international dan sejenisnya
itu. Benar, sastra jepang, gender dan sejenisnya itu, bisa dipelajari di
mana saja. Tapi, semangat juang dan mental untuk tetap berjuang abis-abisan
biar udah ngga ada jalan, gw rasa, salah satu tempat yang ideal untuk
memahami semua itu adalah di jepang. Dan gw bersyukur ada di sini, saat
ini. Maka, mulai hari ini, jika gw mendengar kata gambaru, entah di kampus,
di mall, di iklan-iklan TV, di supermarket, di sekolahnya joanna atau di
mana pun itu, gw tidak akan lagi merasa muak jiwa raga. Sebaliknya, gw
akan berucap dengan rendah hati : Indonesia jin no watashi ni gambaru no
seishin to imi wo oshietekudasatte, kokoro kara kansha itashimasu. Nihon jin
no minasan no yoo ni, gambaru seishin wo mi ni tsukeraremasu yoo ni, hibi
gambatteikitai to omoimasu. (Saya ucapkan terima kasih dari dasar hati saya
karena telah mengajarkan arti dan mental gambaru bagi saya, seorang
Indonesia. Saya akan berjuang tiap hari, agar mental gambaru merasuk dalam
diri saya, seperti kalian semuanya, orang-orang Jepang).

Sumber: PPI Jepang

Rabu, 17 November 2010

AKTIVITAS PAGI

1. bangun
2. shalat subuh
3. tidur lagi
4. bangun lagi
5. mandi
6. simple breakfast
7. beres2 kamar
8. stel mp3
9. jalan/sepedaan ke kampus
10. ohayou gozaimasu....
11. turn on PC
12. gantung jaket
13. duduk, SMS bojo,,,selamat pagi sayang....
14. bikin minum
15. cek email
16. buka kerjaan
17. shopping online dulu sambil pemanasan
18. kerja
19. buzz temen, lunch time!!
20. and so on and so forth

Kamis, 17 Desember 2009

Japan Scholarship for Doctor in Water Resources and River Field

Scholarship from Japan Government (MEXT/Monbusho/Monbukagakusho) for PhD./Doctor
Field: Water Resources Engineering, River Managament, Hydrology, Hydraulic, Water Quality

http://www.gcoe.yamanashi.ac.jp/e/event/2009/interview2010.html